Baru penulis sadari bahwa dalam sebuah
tradisi tiada yang salah maupun benar. Anggapan penulis yang kala itu masih
didasarkan pada kelihatannya membuat penulis sering menyalahkan tradisi yang
berbeda dan membuat rasa kurang nyaman.
Hidup di desa memang memiliki kebahagiaan
alami.
Selama duduk di kelas 4 hingga 6 Sekolah
Dasar, penulis tinggal bersama keluarga besar dari ibu. Kita semua tinggal di
dalam rumah besar berbau desa yang khas dengan lantai semen dan cerobong
asapnya.
Bukan karena kami keluarga besar, kami
selalu menjalankan sholat idul fitri bersama, yang tak lain kami meimilih
masjid terdekat agar bisa pulang lebih cepat dan memang masjid tersebut adalah
sentral berkumpulnya tetangga-tetangga. Selain itu, agar usai sholat kami semua
bisa menghadiri acara makan besar yang digelar di sekitar masjid dengan maksud
merayakan kemenangan. Ketika daun-daun pisang mulai dilebarkan, dari lansia
hingga bayi yang masih menyusu segera mengelilingi.
Tradisi tersebut tidak penulis temukan di
kota. Mereka langsung pulang tanpa bersalaman, apalagi makan. Tapi itu bukan
kesalahan. Hanya penulis yang kurang terbiasa hingga merasa aneh dan kurang
nyaman.
Sesampainya di rumah, entah keluarga
penulis dulu yang berkeliling atau tetangga-tetangga dulu yang berkunjung,
tetap kami harus datang ke rumah satu sama lain walau telah bertemu beribukali
pun.
Sekali lagi, tradisi tersebut tidak penulis
temukan di kota. Keluarga kecil penulis yang terbiasa berkunjung lebih dulu ke
tetangga-tetangga, menjadi tidak pernah mendapat kunjungan dari mereka.
Toples-toples penuh jajan akan tetap penuh hingga lebaran berakhir. Memang
menyedihkan yang penulis rasa. Namun itu tradisi di sini. Harus bisa merasa
nyaman walau terpaksa.
No comments:
Post a Comment